KOMPRESI
DATA
PENDAHULUAN
Kompresi Data merupakan cabang ilmu komputer yang
bersumber dari Teori Informasi. Teori Informasi sendiri adalah salah satu
cabang Matematika yang berkembang sekitar akhir dekade 1940-an. Tokoh utama
dari Teori Informasi adalah Claude Shannon dari Bell Laboratory.
Teori Informasi mengfokuskan pada berbagai metode
tentang informasi termasuk penyimpanan dan pemrosesan pesan. Teori Informasi
mempelajari pula tentang redundancy (informasi tak berguna) pada pesan. Semakin
banyak redundancy semakin besar pula ukurang pesan, upaya mengurangi redundancy
inilah yang akhirnya melahirkan subyek ilmu tentang Kompresi Data.
Teori Informasi menggunakan terminologi entropy
sebagai pengukur berapa banyak informasi yang dapat diambil dari sebuah pesan.
Kata “entropy” berasal dari ilmu termodinamika. Semakin tinggi entropy dari
sebuah pesan semakin banyak informasi yang terdapat di dalamnya. Entropy dari
sebuah simbol didefinisikan sebagai nilai logaritma negatif dari probabilitas
kemunculannya. Untuk menentukan konten informasi dari sebuah pesan dalam jumlah
bit dapat digunakan rumus sebagai berikut:
number
of bits = -log base 2 (probability)
Entropy
dari keseluruhan pesan adalah jumlah dari keseluruhan entropy dari seluruh symbol.
PENGERTIAN KOMPRESI DATA
- Kompresi berarti memampatkan / mengecilkan ukuran
- Kompresi data adalah proses mengkodekan informasi menggunakan bit atau information-bearing unit yang lain yang lebih rendah daripada representasi data yang tidak terkodekan dengan suatu sistem enkoding tertentu.
- Contoh kompresi sederhana yang biasa kita lakukan misalnya adalah menyingkat kata-kata yang sering digunakan tapi sudah memiliki konvensi umum. Misalnya: kata “yang” dikompres menjadi kata “yg”
- Pengiriman data hasil kompresi dapat dilakukan jika pihak pengirim/yang melakukan kompresi dan pihak penerima memiliki aturan yang sama dalam hal kompresi data
- Pihak pengirim harus menggunakan algoritma kompresi data yang sudah baku dan pihak penerima juga menggunakan teknik dekompresi data yang sama dengan pengirim sehingga data yang diterima dapat dibaca / di-dekode kembali dengan benar
- Kompresi data menjadi sangat penting karena memperkecil kebutuhan penyimpanan data, mempercepat pengiriman data, memperkecil kebutuhan bandwidth
- Teknik kompresi bisa dilakukan terhadap data teks/biner, gambar (JPEG, PNG, TIFF), audio (MP3, AAC, RMA, WMA), dan video (MPEG, H261, H263)
Jenis Kompresi Data
Berdasar
mode penerimaan data yang diterima manusia :
- Dialoque Mode: yaitu proses penerimaan data dimana pengirim dan penerima seakan berdialog (real time), seperti pada contoh video conference. Dimana kompresi data harus berada dalam batas penglihatan dan pendengaran manusia. Waktu tunda (delay) tidak boleh lebih dari 150 ms, dimana 50 ms untuk proses kompresi dan dekompresi, 100 ms mentransmisikan data dalam jaringan
- Retrieval Mode: yaitu proses penerimaan data tidak dilakukan secara real time
Dapat dilakukan fast forward dan fast rewind
di client
Dapat dilakukan random
access terhadap data dan dapat bersifat interaktif
Kompresi Data Berdasarkan
Output :
- Lossy Compression
Teknik kompresi dimana data hasil
dekompresi tidak sama dengan data sebelum kompresi namun sudah “cukup” untuk
digunakan. Contoh: Mp3, streaming media,
JPEG, MPEG, dan WMA.
Kelebihan: ukuran file lebih
kecil dibanding loseless namun masih tetap memenuhi syarat untuk digunakan.
Biasanya teknik ini membuang
bagian-bagian data yang sebenarnya tidak begitu berguna, tidak begitu dirasakan,
tidak begitu dilihat oleh manusia sehingga manusia masih beranggapan bahwa data
tersebut masih bisa digunakan walaupun sudah dikompresi.
Misal terdapat image asli berukuran
12,249
bytes, kemudian dilakukan kompresi dengan JPEG kualitas 30 dan berukuran 1,869
bytes berarti image tersebut 85% lebih kecil dan ratio kompresi 15%
- Loseless
Teknik kompresi dimana data hasil
kompresi dapat didekompres lagi dan hasilnya tepat sama seperti data sebelum proses
kompresi. Contoh aplikasi: ZIP, RAR,
GZIP, 7-Zip
Teknik ini digunakan jika dibutuhkan
data setelah dikompresi harus dapat diekstrak/dekompres lagi tepat sama. Contoh pada data teks, data program/biner, beberapa
image seperti GIF dan PNG
Kadangkala ada data-data
yang setelah dikompresi dengan teknik ini ukurannya menjadi lebih besar atau sama
Berdasarkan
tipe peta kode yang digunakan untuk mengubah pesan awal (isi file input)
menjadi sekumpulan codeword, metode kompresi terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
(a) Metode
statik :
menggunakan peta kode yang selalu sama. Metode
ini membutuhkan dua fase (two-pass): fase pertama untuk menghitung probabilitas
kemunculan tiap simbol/karakter dan menentukan peta kodenya, dan fase kedua
untuk mengubah pesan menjadi kumpulan kode yang akan ditransmisikan. Contoh:
algoritma Huffman statik.
(b) Metode
dinamik (adaptif) :
menggunakan peta kode yang dapat berubah
dari waktu ke waktu. Metode ini disebut adaptif karena peta kode mampu
beradaptasi terhadap perubahan karakteristik isi file selama proses kompresi berlangsung.
Metode ini bersifat onepass, karena hanya diperlukan satu kali pembacaan
terhadap isi file. Contoh: algoritma LZW dan DMC.
Klasifikasi Teknik Kompresi
- Entropy Encoding
Bersifat
loseless
Tekniknya tidak berdasarkan media dengan spesifikasi dan
karakteristik tertentu namun berdasarkan urutan data.
Statistical encoding, tidak memperhatikan semantik
data.
Mis:
Run-length coding, Huffman coding, Arithmetic coding
- Source Coding
Bersifat lossy
Berkaitan dengan data semantik (arti data) dan media.
Mis: Prediction (DPCM, DM), Transformation (FFT, DCT),
Layered Coding (Bit position, subsampling, sub-band coding), Vector
quantization
- Hybrid Coding
Gabungan antara lossy + loseless
mis: JPEG, MPEG, H.261, DVI
Secara umum kompresi data terdiri dari dua kegiatan
besar, yaitu Modeling dan Coding. Proses dasar dari kompresi data adalah
menentukan serangkaian bagian dari data (stream of symbols) mengubahnya menjadi
kode (stream of codes). Jika proses kompresi efektif maka hasil dari stream of
codes akan lebih kecil dari segi ukuran daripada stream of symbols. Keputusan
untuk mengindentikan symbols tertentu dengan codes tertentu adalah inti dari
proses modeling. Secara umum dapat diartikan bahwa sebuah model adalah kumpulan
data dan aturan yang menentukan pasangan antara symbol sebagai input dan code
sebagai output dari proses kompresi. Sedangkan coding adalah proses untuk
menerapkan modeling tersebut menjadi sebuah proses kompresi data.
I.Coding
Melakukan proses encoding dengan menggunakan ASCII
atau EBDIC yang merupakan standar dalam proses komputasi memberikan kelemahan
mendasar apabila dilihat dari paradigma kompresi data. ASCII dan EBDIC
menggunakan jumlah bit yang sama untuk setiap karakter, hal ini menyebabkan
banyak bit yang ”terbuang” untuk merepresentasikan karakter-karakter yang
sebenarnya jarang muncul pada sebuah pesan.
Salah satu cara mengatasi permasalahan di atas
adalah dengan menggunakan Huffman-coding. Huffman-coding yang dikembangkan oleh
D.A. Huffman mampu menekan jumlah redundancy yang terjadi pada sebuah pesan
yang panjangnya tetap. Huffman-coding bukanlah teknik yang paling optimal untuk
mengurangi redundancy tetapi Huffman-coding merupakan teknik terbaik untuk
melakukan coding terhadap symbol pada pesan yang panjangnya tetap. Permasalahan
utama dengan Huffman-coding adalah hanya bisa menggunakan bilangan bulat untuk
jumlah bit dari setiap code. Jika entropy dari karakter tersebut adalah 2,5
maka apabila melakukan pengkodean dengan Huffman-coding karakter tersebut harus
terdiri dari 2 atau 3 bit. Hal tersebut membuat Huffman-coding tidak bisa
menjadi algoritma paling optimal dalam mengatasi redundancy ini.
Huffman-coding memang kurang efisien karena untuk
melakukan pengkodean kita harus menggunakan bilangan bulat. Walaupun demikian
Huffman-coding sangat mudah digunakan dan sampai awal era 90-an di mana
prosesor komputer masih sulit untuk melakukan komputasi bilangan pecahan
Huffman-coding dianggap paling rasional untuk diaplikasikan pada proses
kompresi data. Setelah kelahiran prosesor yang mampu melakukan operasi bilangan
pecahan dengan cepat maka banyak algoritma coding baru bermunculan dan salah
satunya adalah Arithmatic-coding.
Arithmatic coding lebih kompleks dan rumit
dibandingkan Huffman-coding, tetapi di sisi lain Arithmatic-coding memberikan
optimalisasi yang lebih tinggi. Arithmatic-coding memungkinkan jumlah bit dalam
pecahan karena arithmatic coding tidak bekerja per karakter dari pesan tetapi
langsung pada keseluruhan pesan. Misalnya entropy dari karakter e pada pesan
adalah 1,5 bit maka pada output code pun jumlah bit-nya adalah 1,5 dan bukan 1
atau 2 seperti pada Huffman-coding.
ALGORITMA KOMPRESI DATA
Algoritma
Shannon-Fano dan Algortima Huffman. Walaupun saat ini sudah bukan lagi proses
coding yang menghasilkan kompresi paling optimal namun algoritma Shannon-Fano
dan Algoritma Huffman adalah dua algoritma dasar yang sebaiknya dipahami oleh
mereka yang mempelajari tentang kompresi data.
1.
Algoritma Shannon-Fano
Teknik coding ini dikembangkan oleh dua orang dalam
dua buah proses yang berbeda, yaitu Claude Shannon di Bell Laboratory dan R.M.
Fano di MIT, namun karena memiliki kemiripan maka akhirnya teknik ini dinamai
dengan mengggabungkan nama keduanya. Pada dasarnya proses coding dengan
algoritma ini membutuhkan data akan frekuensi jumlah kemunculan suatu karakter
pada sebuah pesan. Tiga prinsip utama yang mendasari algoritma ini adalah:
a.
Simbol yang berbeda memiliki kode yang
berbeda
b.
Kode untuk symbol yang sering muncul memiliki jumlah bit yang lebih sedikit dan
sebaliknya symbol yang jarang muncul
memiliki kode dengan jumlah bit lebih besar.
c.
Walaupun berbeda jumlah bit-nya tetapi kode harus tetap dikodekan secara pasti
(tidak ambigu).
Berikut
adalah langka-langkah Algoritma Shannon-Fano :
1.
Buatlah tabel yang memuat frekuensi kemunculan dari tiap karakter.
2.
Urutkan berdasar frekuensi tersebut dengan karakter yang frekuensinya paling
sering muncul berada di atas dari daftar (descending).
3.
Bagilah 2 tabel tersebut dengan jumlah total frekuensi pada bagian atas mendekati
jumlah total frekuensi pada bagian bawah (lihat tabel 3).
4.
Untuk bagian paro atas berikan kode 0 dan pada paro bawah berikan kode
5.
Ulangi langkah 3 dan 4 pada masing-masing paro tadi hingga seluruh symbol
selesai dikodekan.
2.
Algoritma Huffman
Algoritma Huffman memiliki kemiripan karakteristik
dengan Algoritma Shannon-Fano. Masing-masing simbol dikodekan dengan deretan
bit secara unik dan simbol yang paling sering muncul mendapatkan jumlah bit
yang paling pendek. Perbedaan dengan Shannon-Fano adalah pada proses
pengkodean. Jika algoritma Shannon-Fano membangun tree dengan pendekatan
top-down, yaitu dengan memberikan bit pada tiap-tiap simbol dan melakukannya
secara berurutan hingga seluruh leaf mendapatkan kode bit masing-masing.
Sedangkan algoritma Huffman sebaliknyamemberikan kode mulai dari leaf secara
berurutan hingga mencapai root.
Prosedur
untuk membangun tree ini sederhana dan mudah dipahami. Masing-masing simbol
diurutkan sesuai frekuensinya, frekuensi ini dianggap sebagai bobot dari tiap
simbol, dan kemudian diikuti dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Dua node bebas dengan bobot terendah dipasangkan.
2.
Parent node untuk kedua node pada langkah sebelumnya dibuat. Jumlahkan frekuensi
keduanya dan gunakan sebagai bobot.
3.
Sekarang parent node berperan sebagai node bebas.
4.
Berikan kode 0 untuk node kiri dan 1 untuk node kanan.
5.
Ulangi langkah di atas sampai hanya tersisa satu node. Sisa satu node inilah yang
disebut sebagai root.
II.
Modeling
Jika coding adalah roda dari sebuah mobil maka
modeling adalah mesinnya. Sebaik apapun algoritma untuk melakukan coding tanpa
model yang baik kompresi data tidak akan pernah terwujud. Kompresi Data
Lossless pada umumnya diimplementasikan menggunakan salah satu dari dua tipe
modeling, yaitu statistical atau dictionary-based. Statistical-modeling
melakukan prosesnya menggunakan probabilitas kemunculan dari sebuah symbol
sedangkan dictionary-based menggunakan kode-kode untuk menggantikan sekumpulan
symbol.
1.
Statistical Modeling
Pada bentuk paling sederhananya,
statistical-modeling menggunakan tabel statis yang berisi probabilitas
kemunculan suatu karakter atau symbol. Tabel ini pada awalnya bersifat
universal, sebagai contoh pada bahasa Inggris karakter yang paling sering
muncul adalah huruf “e” maka karakter ini memiliki 9 probabilitas tertinggi
pada file teks yang berbahasa Inggris.
Menggunakan tabel universal pada akhirnya tidak
memuaskan para ahli kopresi data karena apabila terjadi perubahan pada subyek
yang dikompresi dan tidak sesuai dengan tabel universal maka akan terjadi
penurunan rasio kompresi secara signifikan. Akhirnya muncul modeling dengan
menggunakan tabel yang adaptif, di mana tabel tidak lagi bersifat statis tetapi
bisa berubah sesuai dengan kode. Pada prinsipnya dengan model ini, sistem
melakukan penghitungan atau scan pada keseluruhan data setelah itu barulah
membangun tabel probabilitas kemunculan dari tiap karakter atau symbol.
Model ini kemudian dikembangkan lagi menjadi
adaptive statistical modeling di mana sistem tidak perlu melakukan scan ke
seluruh symbol untuk membangun tabel statistik, tetapi secara adaptif melakukan
perubahan tabel pada proses scan karakter per karakter.
2.
Dictionary Based Modeling
Jika statistical model pada umumnya melakukan proses
encode simbol satu per satu mengikuti siklus: baca karakter hitung
probabilitas buat kodenya maka dictionary-based modeling menggunakan
mekanisme yang berbeda. Dictionary-based modeling membaca input data dan
membandingkannya dengan isi dictionary. Jika sekumpulan string sesuai dengan
isi dictionary maka indeks dari dictionary entry lah yang dikeluarkan sebagai
output dan bukan kodenya. Sebagai perumpamaan dari dictionary-based dapat
digunakan makalah ilmiah sebagai contoh. Saat kita membaca makalah ilmiah kita
sering membaca nomor-nomor referensi yang bisa kita cocokkan dengan daftar
pustaka di belakang. Hal ini mirip dengan proses pada dictionary-based
modeling.
PERBANDINGAN ALGORITMA PADA
KOMPRESI DATA
Symbol
|
Jumlah
|
Kode
Shannon
Fano
|
Kode
Huffman
|
Ukuran
Shannon-
Fano
|
Jumlah
Bit
Shannon-
Fano
|
Ukuran
Hufman
|
Jumlah
Bit
Huffman
|
A
|
15
|
00
|
0
|
2
|
30
|
1
|
15
|
B
|
7
|
01
|
100
|
2
|
14
|
3
|
21
|
C
|
6
|
10
|
101
|
2
|
12
|
3
|
18
|
D
|
6
|
110
|
110
|
3
|
18
|
3
|
18
|
E
|
5
|
111
|
111
|
3
|
15
|
3
|
15
|
TOTAL BIT
|
89
|
87
|
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, kita
dapat menyimpulkan bahwa Kompresi Data dapat mempermudahkan dalam hal
penyimpanan file yang begitu besar. Dan media penyimpanan kita bisa menampung
data sebanyak- banyaknya.
REFERENSI
Nelson, M.,
Gailly, J.L., The Data Compression Book, Second Edition. M&T Books, New
York, 1996
www.google.com